Rabu, 24 Oktober 2012

SEJARAH TAFSIR DAN KEISTIMEWAANNYA TIAP PERIODE

PENDAHULUAN
      Al Qur’an merupakan kalam Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang diturunkan secara mutawatir dalam bahasa Arab. Al Qur’an berisi berbagai petunjuk untuk mengatasi berbagai jenis persoalan-persoalan hidup, baik di dunia maupun akhirat yang wajib untuk dipelajari oleh semua umat muslim dimanapun berada. Oleh sebab itu, karena Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka diperlukan ilmu pendukung untuk menafsirkannya agar tidak salah penafsiran. Terutama bagi umat muslim yang hidup di luar Arab yang tidak faham akan bahasa Arab. 
   
Atas dasar hal di atas itulah lahir ilmu Tafsir. Yaitu ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan dengan penafsiran Al Qur’an, sebab-sebab turunnya, qiraat, terus kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir, bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak panafsiran, dan sebagainya. Semua aspek ini dikaji dalam ilmu tafsir.1 Dalam pengkajiannya ini, ilmu tafsir terbagi ke dalam berbagai periode. Mulai dari yang pertama yaitu masa Rosulullah SAW, masa sahabat-sahabat, hingga masa para tabi’in. Gabungan dari tiga pebafsiran ini dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bil Ma’tsur. Dalam hal ini, pada masing-masing masa/periode, ilmu tafsir memiliki berbagai keistimewaan yang berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi yang ada.
    Berbagai penjelasan mengenai sejarah perkembangan tafsir dan keistimewaannya pada masing-masing periode tersebut akan dibahas dalam makalah berikut ini. 
 1 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), Hlm. 67 

PEMBAHASAN
 A. Tafsir Pada Periode Rasulullah 
      Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SAW bertugas menyampaikan risalah Islam kepada umatnya untuk mampu menjelaskan segala yang terkandung dalam Al Qur’an. Hal itu didasarkan pada kalam Allah swt dalam Surat An Nahl ayat 44 dan 64 berikut:     ••      
Artinya : “Dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu (hai Muhammad) agar engkau menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan bagi mereka dan supaya mereka memikirkan”            
Artinya : “Dan Kami tidakmenurunkan kepadamu Al Kitab (AL Qur’an) ini, kecuali agar Kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.” 
    Atas hal-hal tersebutlah, wajar kalau para sahabat Nabi bertanya kepada Muhammad tentang makna ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an. Dalam memberikan jawaban-jawabannya, beliau tidak menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an mengikuti fikiran beliau sendiri, tetapi menurut wahyu Illahi. Rasulullah menanyakannya kepada malaikat Jibril, pun malaikat Jibril tidak memberikan penafsiran menurut kemauannya sendiri, tetapi menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah swt. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa Allah lah pihak pertama yang menafsirkan makna Al Qur’an, sebab Allah jugalah yang menurunkan Al Qur’an. 
    Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menyebutkan, Rasulullah saw menjelaskan makna Qur’an secara umum, membedakan ayat-ayat yang naskh dan mansukh, kemudian memberitahukan hal itu kepada para sahabatnya hingga mereka memahamisebab turunnya ayat dan situasi yang mendukungnya. Semua penafsiran Muhammad disimak dan dijadikan pegangan oleh para sahabat beliau, kemudian diwariskan kepada generasi-generasi sesudahnya. Asy Syathibi dalam kitabnya, Al Itqan, menyajikan kumpulan hadits tentang tafsir dari Muhammad saw. Ia mengatakan : Sebagian ulama berpendapat bahwa penjelasan atau keterangan dalam Kitabullah Al Qur’an, dan apa yang telah ditetapkan hadits-hadits shahih, itulah yang dinamakan tafsir, karena maknanya terang dan jelas. 2 
     Tafsir Qur’an pada zaman Rasul saw dan pada masa awal pertumbuhan Islam disusun pendek-pendek dan tampak ringkas karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Qur’an. Keistimewaan dari tafsir pada masa ini adalah terjamin kebenarannya karena sumbernya langsung berasal dari Nabi Muhammad saw. 

B. Tafsir Pada Periode Sahabat 
    Tafsir pada periode sahabat nabi menempati urutan kedua setelah tafsir Rasulullah saw. Di antara sahabat yang banyak menafsirkan Al Qur’an adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat tafsir bil ma’tsur yang dinisbatkan kepada mereka, dan sahabat lainnya yang tentu saja berbeda-beda derajat ke-shahih-an dan ke-dha’if-annya dilihat dari sudut sanad.3 
     Para sahabat dalam menafsirkan Al Qur’an pada masa ini berpegang pada4:  
1. Al Qur’an Al Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secar terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat yang lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an.”  
2 Ahmad Asy-Syirbasi, Sejarah Tafsir Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus), Hlm.68 3Ibid, Hlm.71 4 Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar), Hlm.422-433 2. Nabi shallahu alaihi wa sallam. Beliaulah pemberi penjelasan (penafsir) Al Qur’an otoritatif. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka merujuk kepada Nabi. 
3. Pemahaman dan Ijtihad. Allah para sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, mereka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya. 
    Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Muqaddimah Tafsir-nya: “Jika kita tidak mendapatkan tafsiran dalam Al Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah, hendaknya kita merujuk ke penafsiran sahabat, sebab mereka lebih mengetahui mengenai tafsir Al Qur’an. Merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisiyang terjadi. Juga mereka mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang sholeh, terutama para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa Ar Rasyidin, para imam yang mendapat petunjuk dan Ibn Mas’ud.” Dalam periode ini tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua. Di samping itu tafsir hanya merupakan cabang dari hadits, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika ayat-ayat Al Qur’an dan surat-suratnya di samping juga tidk mencakup keseluruhannya.5 Keistimewaan tafsir pada masa ini ialah terjamin kebenarannya karena mereka pernah hidup bersama Rasul dan menerima tafsir langsung dari Rasul. 

C. Tafsir Pada Periode Tabi’in  
1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir Periode Tabi’n 
Kalau di kalangan sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang tafsir, di kalangan tabi’in yang notabennya menjadi murid mereka pun, banyak pakar dalam bidang tafsir. Dalam menafsirkan, para tabi’n berpegang teguh pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Pakar-pakar dari tabi’in tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : 5Ibid, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, Hlm. 425 a) Adh Dhahak bin Muzahim Al Hilali (wafat 120 H) b) ‘Athiyyah bin Sa’ad Al ‘Aufi (wafat 111 H) c) Isma’il bin Abdurrahman As Sidi Al Kabir d) Asbath bin Nashr e) Muhammad bin As Sa’ih Al Kalbi f) Muhammad bin Marwan As Sidi Ash Shaghir g) Muqatil bin Sulaiman Al Azdi Al Khurasani (wafat 150 H) h) Abu Khalid ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Aziz bin Juraij i) Dan sebagainya. 
2. Sumber Tafsir Periode Tabi’in Menurut Adz Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufasir dari kalangan tabi’n berpegang pada Al Qur’an, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.6 
  Kitab-kitab Tafsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui proses penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasannya tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat Al Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan itu makin meningkat secara bertahap di saat manusia semakin jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya merekapun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. 6 Ibid, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, Hlm. 425-426 
 Dengan demikian, sumber penafsiran pada masa tabi’in ini meliputi 5 sumber, yaitu: 1) Al Qur’an 2) Hadits-hadits Nabi Muhammad saw 3) Tafsir dari para sahabat 4) Cerita-cerita dari para Ahli Kitab 5) Ijtihad dari para tabi’in 
 3. Pusat-pusat Kajian Tafsir Periode Tabi’in Ketika penaklukan Islam semakin luas ke berbagai wilayah di dunia, tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan Islam. Dari tangan mereka inilah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai madzhab dan perguruan tafsir, baik di Arab maupun di luar Arab.7 
 a) Di Mekkah, misalnya berdiri perguruan Ibnu Abbas. Di antara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. Mereka ini semuanya dari golongan maula (hamba yang telah dibebaskan). b) Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukil generasi sesudahnya. Di antara muridnya dari kalangan tabi’in, ialah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi. c) Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal madzhab ahli ra’yi. Dan banyak pula tabi’n di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur diantaranya adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al Aswad bin Yazid, Murah Al Hazani, ‘Amir Asy Sya’bi, Hasan Al Basri dan Qatadah bin Di’amah As Sadusi. 7Ibid, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, Hlm. 426-427 
 4. Kedudukan Tafsir Tabi’in Para ulama berbeda pendapat tentang kualitas tafsir tabi’in yang independen yang tidak diriwayatkan dari Rasulullah atau para sahabat. Segolongan para ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al Qur’an, sehingga mereka bisa saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang kuat ialah jika para tabi’in sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meningggalkannya untuk mengambil jalan yang lain. Ibnu Taimiyah menukil pendapat, Syu’bah bin Al Hajjaj dan lainnya katanya, “Pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.” Maka bagaimana pula pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun, jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu adalah hujjah. Sebaliknya jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabi’insendiri maupun generasi sesudahnya. Dalam keadaaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa Al Qur’an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.” 
5. Keistimewaan Tafsir Periode Tabi’n Secara umum, keistimewaan tafsir pada masa tabi’in diwarnai dengan 3 macam warna yang membedakan dengan tafsir pada masa lainnya, yaitu: 
 a) Masuknya cerita Isra’iliyat yang dibawa oleh Ahli Kitab yang telah masuk Islam. b) Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya c) Terjadi perbedaan madzhabiyiah yang timbul karena perbedaan pemahaman dalam penafsiran. 

D. Tafsir Pada Periode Setelah Tabi’in (Masa Kodifikasi) 
       Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti bani Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadits mendapat prioritas utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini tafsir yang hanya memuat tafsir Al Qur’an, surat demi surat, dan ayat demi ayat, dari awal Al Qur’an sampai akhir, memang belum terpisahkan secara khusus dari bab-bab hadits. Keistimewaan dari tafsir pada masa ini ialah sudah makin berkembangnya penafsiran, terutama dalam bentuk buku-buku yang sudah tersusun secara sistematis oleh para pakar ahli tafsir. Tafsir pada periode ini dapat dibedakan menjadi 2 periode, yaitu: 
 1. Periode Ulama Mutaqadimin (III-VIII H/IX-XIII M) Yang dimaksud zaman Mutaqadimin di sini adalah zaman para penulis tafsir Al-Qur’an gelombang pertama yang memulai memisahkan tafsir dari hadits. Boleh juga sebagai generasi kodifikasi tafsir pertama, sehingga tafsir menjadi ilmu yang berdiri sendiri tidak lagi seperti periode sebelumnya yang belum memisahkan tafsir dari hadits. Periode ini mulai dari zaman Tabi’in dan Tabi’inat Tabi’in sampai akhir dinasti Abbasiyah, yaitu kira-kira dari tahun 150 H/782 M-656 H/1258 M, atau mulai abad II sampai abad VII H. Pada periode ini tafsir Al-Qur’an mulai dikumpulkan tersendiri, dipisahkan dari hadits Nabi Muhammad saw atau riwayat sahabat yang lain yang tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan di atas sesuai dengan sistematika Mushaf. Tokoh-tokoh tafsir pada periode ini adalah Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakar Bil Mundzir An Naisaburi, Ibn Abi Hatim, Abu Asy Syaikh bin Hibban, Al Hakim dan Abu Bakar bin Mardawaih. 
 2. Tafsir Periode Ulama Mutaakhirin (IX-XII H) Disebut periode Mutaakhirin karena pada zaman ini merupakan zaman para ulama mufasir periode kodifikasi kedua yang menuliskan tafsir terpisah dari hadits. Generasi ini muncul pada zaman kemunduran Ummat Islam yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H sampai timbulnya kebangkitan Islam pada tahun 1286 H atau abad 7 – 13 H. Pada masa itu para ulama memadukan antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Orientasi tafsir yang muncul dan berkembang seperti ini telah mewarnai tafsir dengan berbagai corak yang hampir-hampir menutupinya akan fungsi dasar tafsir. Kita dapat menemukan kitab-kitab tafsir yang mencampurkan kedalamnya ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir bertumpu kepada pemahaman pribadi, terminiologi ilmiah, ideologi-ideologi madzhab, dan budaya-budaya falsafi. 
     Dengan hal yang semacam ini, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius, dan ilmu-ilmu filsafat yang bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli, ini semua menyebabkan tafsir ternoda. Sehingga tidak heran, apabila para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara mufassir menafsirkan Al-Qur’an menurut selera mereka sendiri dan masing-masing mufassir mengarahkan penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang ilmu yang dikuasainya, sehingga lahirlah berbagai corak tafsir yang berbeda-beda. 
      Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih mengikuti pola di atas, yaitu golongan muta’akhirin tidak kreatif, hanya mampu mengambil penafsiran golongan mutaqaddimin, dengan cara meringkasnya di satu sisi dan memberinya komentar di sisi lain. Keadaan demikian terus berlanjut sampai lahirnya pola baru dalam tafsir modern, di mana sebagian mufassir memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping upaya menyingkap dasar-dasar kehidupan social, prinsip-prinsip tasyri’ dan teori-teori ilmu pengetahuan dari kandungan Al Qur’an sebagaimana terlihat dalam tafsir Al Jawahir, Al Manar, dan Azh Zhilal.8 8Ibid, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, Hlm. 430 
PENUTUP 
Kesimpulan 
a. Tafsir pada Masa Rasulullah saw 
Tafsir Qur’an pada zaman Rasul saw dan pada masa awal pertumbuhan Islam disusun pendek-pendek dan tampak ringkas karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Qur’an. Keistimewaan dari tafsir pada masa ini adalah terjamin kebenarannya karena sumbernya langsung berasal dari Nabi Muhammad saw. 
b. Tafsir pada Masa Sahabat 
Dalam periode ini tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua. Di samping itu tafsir hanya merupakan cabang dari hadits, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika ayat-ayat Al Qur’an dan surat-suratnya di samping juga tidk mencakup keseluruhannya. Keistimewaan tafsir pada masa ini ialah terjamin kebenarannya karena mereka pernah hidup bersama Rasul dan menerima tafsir langsung dari Rasul. 
c. Tafsir pada Masa Tabi’in 
Sumber penafsiran pada masa tabi’in ini meliputi 5 sumber, yaitu: 1) Al Qur’an 2) Hadits-hadits Nabi Muhammad saw 3) Tafsir dari para sahabat 4) Cerita-cerita dari para Ahli Kitab 5) Ijtihad dari para tabi’in d. Tafsir pada Masa Kodifikasi Pada periode ini tafsir Al-Qur’an mulai dikumpulkan tersendiri, dipisahkan dari hadits Nabi Muhammad saw atau riwayat sahabat yang lain yang tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan di atas sesuai dengan sistematika Mushaf. 
DAFTAR PUSTAKA 
Al Qaththan, Syaikh Manna. 2011. Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an. Jakarta : Pustaka Al Kautsar
Asy-Syirbasi, Ahmad. 1991. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus 
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 
Shihab, M. Quraish. 1998. Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar