Jumat, 13 Juli 2012

Tasawuf Imam Al-Ghazali

           Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan aspek spiritual. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohani dibandingkan dunia yang fana. Ajaran-ajaran tasawuf seperti mahabbah, ilmu dan amal merupakan ajaran tasawuf yang lebih menekankan kehidupan akhirat, namun tidak melupakan kehidupan dunia. Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula muculnya tasawuf, harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku Nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi utama Nabi adalah untuk memperbaiki dan meyempurnakan akhlak masyarakat Arab dulu. Diantara salah satu tokoh tasawuf Islam yang sangat terkenal adalah Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum Al-Din. Karya Al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan antara syari’at dengan tasawuf. Untuk corak pemikiran tasawufnya, beliau mengikuti amalan tasawuf Nabi Muhammad saw dan sahabatnya yang tetap berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ASWAJA. Atas keberhasilan Imam Al-Ghazali dalam menggagas kaedah-kaedah tasawuf dan corak pemikirannya yang sunni inilah kelompok kami mengambil tokoh pembahasan Imam Al-Ghazali yang akan dibahas dalam makalah berikut ini.

A. Biografi Imam Al-Ghazali
              Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Tusi Al-Syafi’I, dan lebih dikenal dengan nama Al-Ghazali. Dia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di suatu kampong yang bernama Gazalah,di daerah Tus yang terletak di wilayah Khurasan.1 Ia juga dikenal mendapat gelar Hujjah Al-Islam. Di dalam suatu sumber disebutkan bahwa ayahnya adalah seorang shalih. Ia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di tokonya. Ketika ajal akan menjemputnya, ia menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada karibnya, seorang sufi dan dermawan. Ia berkata kepada karibnya, “Saya menyesal tidak pernah belajar menulis. Oleh karena itu, saya ingin sekali memperoleh apa yang telah saya tinggalkan itu pada kedua anak saya. Jadi, ajarilah mereka menulis. Untuk itu, Anda boleh menggunakan harta saya untuk mereka.”
              Ketika ia meninggal dunia, karibnya itu mulai mengajari kedua anaknya hingga habislah peninggalan orang tua kedua anak itu yang memang sedikit jumlahnya. Kemudian, sang karib tadi menasihati Al-Ghazali dan saudaranya untuk belajar disebuah madrasah. Akhirnya mereka menuruti nasihat itu. Setelah masuk madrasah, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad Muhammad Ar-Radzakani. Selanjutnya, beliau berguru sekaligus menyambung hidupnya ke Naisabur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Naisabur inilah Al-Ghazali berguru di Madrasah Nizhamiyah kepada Imam Al-Haramain Abi Al-Ma’ali Al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi‘i yang pada saat itu beliau menjadi guru besar di sana.2 Selama berada di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja berguru kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf an-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf sekalipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.
     1 Zakiah, dkk., Pengantar Ilmu Tasawuf, (IAIN Sumatera Utara, 1982), Hal. 322
     2 Harun Nasution, Mistikisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Hal 41

         Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh Al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pun mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali menjadikannya semakin populer.3
             Ketika Imam Al-Haramayn Al-Juwayni wafat, Al-Ghazali pergi menemui Perdana Menteri Nizam Al-Malik. Majelisnya merupakan tempat berkumpul orang-orang berilmu. Ia sering berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka di majelisnya. Mereka mengagumi pendapat-pendapatnya dan mengakui keutamaannya. Para sahabatnya selalu menyambutnya dengan takzim. Ia dipercaya untuk mengajar di Madrasah An-Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. Inilah yang mengantarkannya kepada kedudukan mulia. Ia didatangi banyak orang, didengar ucapannya, dan dihormati, sehingga ia dapat mengalahkan kemuliaan para pemimpin dan perdana menteri. Semua orang takjub akan keindahan tutur katanya, kesempurnaan keutamaannya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya, dan keakuratan isyaratnya. Ia mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran, pemberian fatwa, dan menulis buku. Ia memiliki kedudukan yang mulia dan menduduki posisi yang tinggi. Ucapannya didengar di mana-mana, terkenal namanya. Ia menjadi teladan dan di datangi banyak orang. Namun ia mengabaikan semua itu dan pergi ke Baitullah Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah. Lal, ia menunaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah 488 H. Sementara untuk pengajaran di Baghdad, ia mewakilkan kepada adiknya.4
           Al-Ghazali sering mengembara ke berbagai negeri, hingga akhirnya ia kembali lagi ke Khurasan daerah asalnya. Di samping rumahnya, ia mendirikan madrasah untuk para fuqaha dan kamar-kamar untuk para sufi. Ia membagi waktunya untuk mengatamkan Al-Qur’an, berdiskusi dengan ulama lain, mengkaji ilmu, sambil terus melaksanakan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hingga kembali ke rahmatullah. Ia wafat di Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumada Al-Akhir 505 H, pada usia 55 tahun.
  3 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Hal.110
  4 Imam Al-Ghazaly, Menyingkap Hati Menghampiri Illahi, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), Hal.13

B. Latar Belakang Tasawuf Al Ghazali
               Pada masa ia menjadi mahasiswa, Al Ghazali sangat mendambakam mencari ilmu pengetahuan yang mutlaq benar. Artinya pengetahuan yang pasti dan tidak bisa salah juga tidak diragukan sedikitpun. Maka Imam Al Ghazali mulai melakukan penelitiannya pada filsafat guna meneliti barangkali kebenaran mutlaq berada dalam disiplin ini. Dengan membaca tulisan-tulisan berbagai macam cabang filsafat tanpa guru seorangpun, Al Ghazali telah mampu menguasai ilmu filsafat dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dari pembacaannya itu, hampir satu tahun ia lalui untuk merenungkan apa yang telah dipadukannya hingga ia paham mana yang benar dan mana yang salah. Ia membagi filosof dalam tiga golongan yaitu: materialis (dahriyyuun), naturalis (thabi’iyyuun), dan theis (ilahiyyuun). Kelompok materialis terdiri dari filosof awal, menyangkal pencipta dan pengatur dunia dan yakin bahwa dunia itu telah ada dengan sendirinya sejak dahulu, dan Al Ghazali selalu mengganggap mereka tidak beragama. Sedangkan kelompok naturalis terpesona dengan keindahan serta keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mereka mengakui suatu eksistensi pencipta bijaksana, tetapi mereka menyangkal kerohanian dan keniscayaan jiwa manusia. Kepercayaan kepada surga, neraka dan hari akhir mereka anggap sebagai dongeng nenek moyang atau khayalan para ulama. Dan kemudian golongan theis, kaum ini tergolong kepada para filsuf yang lebih modern seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Meski mereka menyerang golongan materialis dan Naturalis dan menelanjangi mereka dengan efektif sekali, Al Ghazali masih menganggap mereka kafir dan menggunakan faham bid’ah.
                 Karena tidak puas dengan filsafat, Akhirnya Al Ghazali beralih ke jalan tasawuf, karena dia yakin bahwa para sufi dan orang-orang pencari kebenaran yang betul-betul mencapai tujuan. Pendekatan Al Ghazali dengan jalan ini adalah melalui pendekatan intelektual. Seperti di katakannya sendiri, “pengetahuan itu lebih mudah daripada kegiatan”. Aku memulai dengan membaca buku-buku mereka dan mendapatkan pemahaman intelektual yang menyeluruh tentang prinsip-prinsip mereka. Ia menyadari bahwa para sufi bukanlah orang yang suka kata-kata (Ashab Al Aqwal) tetapi orang yang nyata berpengalaman (Arhab Al Ahwal), dan yang perlu ia lakukan ialah menghayati hidup berlatih dan mengesampingkan dunia. Kemudian ia merasa bahwa yang paling utama dalam prinsip-prinsip itu hanya bisa dicapai lewat pengalaman pribadi, luapan gairah dan suatu perubahan watak. Setelah menganut tasawuf, Al Ghazali mengabdikan dirinya dengan melakukan latihan-latihan sufi dengan menyepi dan menyendiri (Riyadhoh). Dia menyibukkan diri untuk memurnikan jiwanya dari kekejian, memperindahnya dengan kebajikan-kebajikan dan mengisi jiwa itu dengan dzikir-dzikir kepada Allah swt, sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya dari mempelajari tulisan-tulisan beberapa ahli tasawuf. Dengan latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun yang berturut-turut dilewatinya mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hebron, Hijaz, Iraq, dan Thus, Ia maju pesat di jalan sufi. Banyak rahasia-rahasia yang berhasil dibukukannya selama bertahun-tahun. Dan ia juga yakin sepenuhnya bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik yang pantas dilalui oleh manusia. Sikap Al Ghazali terhadap faham sufi tidak pernah berubah sampai akhir hayatnya.

C. Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali
          Karakter tasawuf Al Ghazali adalah tasawuf yang religius sunni yang bertumpu pada kesucian rohani serta keluhuran budi yang merupakan perwujudan paling otentik dan valid dari religiusitas seseorang. Tasawuf yang sunni inilah kemudian diterima oleh kalangan luas dan akhirnya mempunyai pengaruh yang begitu kuat di dunia Islam. Dari sekian panjang perjalanan rohani yang telah dilalui oleh Al Ghazali, ada beberapa ajaran yang telah dirumuskannya dan terkodifikasi. Pertama, ajaran itu adalah Ma’rifat. Al Ghazali menggunakan tasawuf untuk mencari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kebenaran yang dicari itu didapatkan melalui pengalaman batin (dzauq). Dan dengan latihan-latihan yang panjang dan berat, didapatlah ilham yang menerangi hati dari Allah SWT sehingga dengan penerangan itu tersingkaplah kebenaran yang hakiki. Orang jika telah memperoleh kebenaran yang hakiki inilah kemudian disebut dengan orang yang telah ma’rifat.5
   5 Noer Iskandar Al Barsany, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, cet. ke-1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), Hal. 127
                      Ilmu ma’rifat menurut Al Ghazali, bukanlah didapat semata-mata dengan akal. Karena ilmu ma’rifat merupakan ilmu yang sebenarnya mengenal Tuhan, mengenal hadrat rububiyah. Ujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada yang ujud melainkan Allah dan perbuatannya. Allah dan perbuatannya adalah dua bukan satu.6 Disinilah Al Ghazali berbeda dengan Al Hallaj dan ulama sufi lainnya yang berpengaruh. Ujudnya itu adalah kesatuan alam semesta (wahdatul wujud). Alam seluruhnya ini adalah makhluq dan bukti tentang kekuasaan dan kebesarannya apabila telah jelas dalam hati ma’rifat akan tuhan dalam hatinya akan hakikat ketuhanan dan sifat-sifat serta af’Al-af’al dan nikmat rahmat yang terkandung dalam kejadian dunia dan akhirat, itulah kebahagiaan yang sejati. Sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukan perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu, menurut Al Ghazali bukanlah bagian tubuh yang dikenal terdapat pada sebelah kiri dada seorang manusia, tapi ia adalah percikan rohaniah ketuhanan yang merupakan realitas hakikat manusia, terkadang ia berkaitan dengan segumpal daging manusia, namun akal budi belum mampu memahami perkaitan antar keduanya. Menurutnya, kalbu bagaikan cermin, sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya. Jelasnya, jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Dan yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat kalbu berlinang dan cemerlang. Dalam hal ma’rifat ini, beliau sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itulah beliau menyodorkan paham tentang ma’rifat tersebut, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub illallah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
          Kedua, tingkatan manusia. Menurut Al Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya. Akan senantiasa terdapat orang yang awam (manusia biasa) dan orang yang khowas (manusia dengan kelebihan kecerdasan). Maka kemudian beliau membagi beberapa tingkatan manusia untuk mencapai tingkat keimanan dan ketaqwaan, 7 yaitu:
     6 Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. ke-19, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1994), hal. 126
       7 Ibid, hal. 127
1. Tingkatan orang awam. Orang awam ini mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya.
2. Iman orang alim. Dia mendapatkan keimanan dari membandingkan, meneliti dan memeriksa dengan segala kekuatan dan intelektualitasnya.
3. Iman orang arifin. Dia akan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu dengan tidak ada sekat-sekatnya lagi.
                Ketiga, kebahagiaan. Menurut Al Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi sebagai buah pengenalan terhadap Allah.8 Jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu beserta amal sebagaimana beliau telah menyatakan, “Seandainya anda memandang ke arah ilmu, niscaya anda akan melihatnya bagaikan begitu lezat sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya. Andapun niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiaan, dan juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu dan amal. Al Ghazali mendasarkan teori kebahagiaan kepada sebuah analisa psikologis, dan ia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari semacam kelezatan dan kebahagiaan. Kebahagiaan setiap sesuatu adalah kelezatan dan keterbuaian. Maka kelezatan sesuatu itu hendaklah selaras dengan tabiatnya. Adapun kelezatan khusus kalbu adalah pengenalan terhadap Allah. Kelezatan itu sendiri merupakan buah dari pengetahuan. Sebab seandainya seseorang mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui, niscaya dia menjadi gembira. Begitu pula pengetahuan terhadap Allah yang melekat dalam kalbu, niscaya akan membuat gembira seorang yang arif serta membuatnya gelisah menantikan penyaksiannya. Semakin banyak pengetahuan yang dapat diserap, semakin besarlah tingkat kepuasan dan bertambah mendalamlah rasa kebahagiaannya. Itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmu pengetahuannya lebih merasa berbahagia daripada orang yang yang kurang pengetahuan, semakin tinggi ma’rifatullah seseorang mengenai Tuhan maka ia akan semakin bahagia.9
          8 Abu Al Wafa Al Ghanimi Al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, cet. ke-2, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), Hal. 182
         9.Hamka, Op.Cit., Hal. 128
          D. Karya-karya Imam Al-Ghazali
               Al-Ghazali merupakan ulama yang sangat produktif dalam menciptakan karya tulis. Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Karangannya itu ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dalam berbagai bidang ilmu, yang diantaranya:
1. Dalam bidang filsafat, antara lain: a. Maqashid Al-Falasifah b. Tahafut al –Falasifah c. Al-Ma’arif Al-‘Aqliyah d. Mi'yar Al-’Ilm
2. Dalam bidang ilmu kalam, antara lain: a. Al-Iqtisad fi Al-I’tiqad b. Al-Risalah Al-Qudsiyah c. Qawa’id Al-‘Aqa’id d. Iljam Al-Awam ‘an ‘Ilm Al-Kalam
3. Dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh, antara lain: a. Al- Wajiz b. Al-Wasit c. Al-Basit d. Al-Mustafa
4. Dalam bidang Akhlak/Tasawuf, antara lain: a. Ihya 'Ulum Al-Din b. Al-Munqiz min Al-Dalal c. Minhaj Al-‘Abidin d. Mizan Al-‘amal e. Kimiya Al-Sa’adah f. Misykat Al-Anwar g. Al-Risalah Al-Laduniyah h. Bidayah Al-Hidayah i. Al-Adab fi Al-Din j. kitab Al-Arba’in
5. Dalam bidang-bidang lain, antara lain: a. Yaqut Al-Ta'wil fi Tafsir Al-Tanzil b. Jawahir Al-Qur'an c. Al-Mustazhiri d. Hujjah Al-Haqq e. Mufassal Al-Khilaf f. Al-Darj g. Al-Qistas Al-Mustaqim h. Fatihah Al-‘Ulum i. Al-Tibr Al-Masbuk fi Nasihah Al-Muluk j. Suluk Al-Sultanah10
    10Asmaran, 1994, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada), Hal. 327-328

     Kesimpulan
              Imam Al Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i. Ia juga diberikan gelar Hujjah Al-Islam.
             Dari sekian panjang perjalanan rohani yang telah dilalui oleh Al Ghazali, ada beberapa ajaran yang telah dirumuskannya dan terkodifikasi, yaitu ma’rifat, tingkatan manusia (awam, alim, dan arifin), dan kebahagiaan sebagai tujuan akhir para sufi. Hasil karangan Imam Ghazali mencapai hampir 300 buah yang meliputi berbagai aspek ilmu, yaitu : ilmu filsafat, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh. Ilmu akhlaq, ilmu tasawuf dan ilmu tafsir.
           Dari sekian banyak hasil karyanya, yang paling terkenal adalah kitab Ihya ‘Ulumuddin yang membahas tentang tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Al Wafa Al Ghanimi Al Taftazani. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung : Penerbit Pustaka
Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Ghazaly, Imam Al. 1999. Menyingkap Hati Menghampiri Illahi. Bandung : Pustaka Hidayah
Hamka. 1994. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas
Nasution, Harun.1978. Mistikisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Noer Iskandar Al Barsany. 2001. Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. 2006. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Zakiah, dkk. 1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. IAIN Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar